Apa Itu Nifas? Masa Nifas dan Pengertiannya (Dalam Islam) Masih seputar tentang wanita. Allah Ta’ala telah menganugerahkan banyak keistimewaan kepada seorang wanita, salah satunya adalah dengan mampu melahirkan. Nah lalu apa tujuan dari melahirkan, yakni menghasilkan keturunan. Hingga terjadinya generasi-generasin baru. Dan hal ini hanya dialami seorang wanita yang subur atau tidak mandul. Ketahuilah readers fillah, setelah terjadinya persalinan atau wanita melahirkan anak, akan terjadi keluarnya darah dari vagina, dan darah ini disebut darah nifas. Dengan nifas, Allah Ta’ala memberikan rukhsah atau keringanan kepada kaum wanita untuk tidak melaksanakan shalat. Lebih lengkapnya yuk simak berikut ini!
Nifas Adalah ?
Nifas menurut Bahasa berarti bersalin. Apabila seorang wanita bersalin dia disebut dengan nufasa’ dan wanita-wanita yang bersalin disebut nifas. Dari segi syar’i ia berarti darah yang keluar saat bersalin atau setelahnya. Ini merupakan definisi di kalangan ulama Syafi’i.
Golongan Hanafi juga mendefinisikan nifas sebagai darah yang keluar dari Rahim setelah keluarnya bayi atau keluar sebagian besar tubuh bayi walaupun secara terputus-putus yaitu satu anggota setelah satu anggota dan bukannya sebagian kecil yang keluar.
Ulama Maliki mendefinisikan nifas sebagai darah yang keluar dari kemaluan karena bersalin yang keluarnya serentak dengan bersalin atau setelahnya, bukan yang keluar sebelumnya, walaupun keluarnya darah itu diantara dua anak kembar. Golongan Hambali mendefinisikannya sebagai darah yang keluar dari Rahim karena bersalin sama ada keluarnya dengan serentak atau setelah atau sebelumnya selama dua hari atau tiga hari disertai dengan rasa sakit hendak bersalin.
Masa Nifas
Para ulama bersepakat bahwa darah yang keluar setelah bersalin adalah darah nifas. Mereka berbeda pendapat tentang darah yang dilihat oleh wanita bersalin sehari atau dua hari sebelum bersalin dan darah yang keluar serentak dengan bayi. Mengenai masa nifas juga terdapat beberapa pandangan dikalangan fuqoha’ .
Pertama: Para Fuqaha’ bersependapat tidak ada jarak masa bagi sedikitnya masa waktu nifas. Kadang – kadang seorang wanita mendapati darah yang keluar sekejap saja, walaupun dia bersalin dalam sehari atau lebih dari satu hari. Kadang kala dia tidak mendapati sebarang darah.
Diriwayatkan bahwa seorang wanita telah melahirkan anak di zaman Rasulullah SAW, tetapi dia tidak melihat adanya darah nifas, karena itu dia telah dikenal sebagai Zaatul Jufuf (yang kekeringan). Perdebatan yang dinukilkan dikalangan fuqaha’tentang sedikitnya masa waktu nifas adalah berkisar di sekitar masa waktu minimum yang didapati oleh wanita yang bersalin.
Al-Mawardi melaporkan dari al-Thauri bahwa sedikitnya nifas adalah empat hari. Mengenai pendapat Abu Hanifah, terdapat tiga riwayat darinya, dimana riwayat yang sah mengatakan sedikitnya nifas adalah setitik. Riwayat kedua mengatakan sebelas hari dan riwayat ketiga mengatakan dua puluh lima hari. Ini sama sekali tidak menolak kesepakatan ulama bahwa tidak ada masa waktu masa tertentu bagi sedikitnya nifas, karena pokok perbincangan disekitar darah yang tampak, darah ada yang keluar sangat sedikit dan banyak, bahkan ada juga wanita yang tidak melihat darah nifas barang sedikitpun.
Kedua: Golongan Syafi’I dan golongan yang sependapat dengan mereka mengatakan masa waktu kebiasaan nifas adalah empat puluh hari. Sumber kepada masa waktu ini dipetik dari kebiasaan dan apa yang sering berlaku, serta kata-kata Ummu Salamah ra:
“wanita yang nifas di zaman Rasulullah SAW menunggu setelah nifasnya empat puluh hari.” (riwayat Abu Daud dan al-Tirmizi serta dianggap sahih ileh al-Hakim)
Ketiga: Jumhur (mayoritas) ahli ilmu berpendapat masa waktu maksimum bagi nifas adalah empat puluh hari. Abu Isa al-Tirmizi mengatakan para ahli ilmu dari kalangan sahabat – sahabat Nabi Muhammad SAW dan Tabi’ien serta orang-orang yang setelah mereka berijma’ bahwa wanita yang bernifas hendaklah meninggalkan shalat selama empat puluh hari kecuali jika dia mendapati dirinya suci sebelum masa waktu itu, maka dia hendaklah mandi dan shalat.
Jika dia melihat ada darah lagi setelah empat puluh hari maka banyak dari ahli ilmu mengatakan dia tidak boleh meninggalkan shalat setelah empat puluh hari itu. Ini adalah pendapat kebanyakan fuqaha termasuk fuqaha’ Hanafi dan Hambali.
Mereka mengemukakan dalil berdasarkan hadis Ummu Salamah yang telah disebuitkan dan hadis Abu Darda dan Abu Hurairah dimana mereka berdua mengatakan: “Rasulullah SAW bersabda: “Wanita yang bernifas hendaklah menunggu empat puluh hari kecuali jika dia melihat dirinya suci sebelum itu. Jika setelah sampai empat puluh hari dan dia mendapati dirinya belum suci, maka dia hendaklah mandi.”
Hadis ini disebutkan oleh Ibnu Addi. Dalam susunan perawinya terdapat al-‘Ala’ bin Kathir dimana riwayatnya adalah sangat lemah. Mereka juga menyebutkan hadis ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ditentukan waktu untuk golongan wanita semasa dalam nifas mereka, yakni selama empat puluh hari.”
Hadis ini dikeluarkan oleh Daaruqutni dan terdapat juga hadis yang seumpamanya yang diriwayatkan dari Jabir ra. Al-Hakim bin Utbah meriwayatkan dari Massah, dari Ummu Salamah, dari Nabi SAW bahwa beliau bertanya kepada Nabi: “berapa lamakah wanita menanti setelah bersalin?” Baginda menjawab: “Empat puluh hari, kecuali jika dia melihat dirinya suci sebelum itu.” (Riwayat al-Daaruqutni).
Di kalangan sahabat yang berpendapata demikian adalah Umar bin al-Khattab, Ibnu ‘Abbas, Anas, Uthman bin Abi al’As, Aa’izd bin Amru dan Ummu Salamah ra. Kata Ibnu Qudamah: “oleh karena ia adalah pendapat mereka yang kita namakan sebagai sahabat dan kita tidak mengetahui ada orang yang menyanggahi pendapat mereka semasa zaman mereka, maka itu menandakan bahwa hal itu telah diijma.” Al-Tirmizi melaporkan bahwa hal itu adalah ijma’ dan begitu juga yang dilaporkan oleh Abu ‘Abid. Al-Tirmidzi, Ibnu al-Munzir, Ibnu Jarir dan selain mereka melaporkan dari al-Hasan al-Basri bahwa masa waktu maksimum nifas adalah lima puluh hari. Diriwayatkan al-Laith bin Sa’ad, Ismail dan Musa bin Ja’far bin Muhammad al-Sadiq bahwa masa waktu maksimumnya adalah tujuh puluh hari karena ia adalah masa waktu paling lama yang perah ditemui.
Ibnu al-Munzir mengatakan: “Al-Auza’ie menyebutkan dari ahli Damsyik bahwa masa waktu maksimum nifas bagi wanita biasa adalah tiga puluh hari dan bagi hamba empat puluh hari.”
Al-Dhahhak diriwayatkan berpendapat bahwa masa waktu maksimum nifas sebanyak empat belas hari. Al-Hafiz Al-Mubarakfuri mengatakan: “Saya tidal mendapatkan dalil dari Sunnah mengenai pendapat-pendapat ini. Oleh karna itu qaul yang rajah yang diterima pakai adalah pendapat yang diutarakan oleh kebanyakan fuqaha.”
Imam al-Nawawi mengatakan “Para sahabat kami mengemukakan alasan bahwa pendalilan yang dipegang dalam hal ini hendaklah berdasarkan kepada apa yang pernah terjadi. Telah ditetapkan pernah terjadi masa waktu nifas dalam masa enam puluh hari.” Sesungguhnya telah diriwayatkan dari al-Auzaa’ie bahwa beliau berkata: “Pada kami, seorang wanita boleh mendapati nifasnya selama dua bulan.”
Rabi’ah, guru Malik mengatakan:’’ Saya mendapati manusia mengatakan masa sebanyak-banyaknya masa waktu nifas seorang wanita adalah enam puluh hari.” Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi kita merujuk kepadanya.
Adapun jawaban terhadap hadis Ummu Salamah maka hal itu adalah sebagaimana berikut:
Pertama: Hadis itu mengatakan kepada kebiasaan yang berlaku demi menemukan persepakatan diantara maksud hadis itu dengan pengalaman sebenarnya yang pernah dilalui.
Kedua: Hadis itu ditunjukkan kepada wanita-wanita tertentu. Dalan riwayat Abu Daud menyebutkan: “Adalah wanita-wanita dari kalangan istri-istri Nabi SAW. Menanti masa nifas mereka selama empat puluh malam.”
Ketiga: Hadis itu tidak menunjukkan dalil untuk menjadikan masa waktu yang lebih dari empat puluh hari. Apa yang ada padanya adalah menetapkan masa waktu empat puluh hari. Kebanyakan sahabat kami berpegang kepada jawaban yang lain terhadap hadis ini, yaitu dengan menghukumnya sebagai hadis yang dhoif. Namun jawaban ini ditokan karena hadis itu adalah hadis yang jayyid (baik) seperti yang telah disebutkan.
Adapun hadis-hadis lain maka semuannya adalah dhoif yang telah diputuskan kedhoifannya oleh banyak penghafal hadis diantaranya adalah Imam al-Baihaqi, dimana dia telah menerangkan sebab-sebabnya saja
Al-Mubarakfini pula berkata:” Pada dasarnya hadis ini adalah hadis hasan yang boleh dijadikan hujjah dan dalam bab ini juga terdapat banyak hadis lain yan dhoif yang bisa mengkuhkan hadis ini.”
Niat Bersuci Setelah Selesai dari Nifas
نَوَيْتُ اْلغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ النِّفَاسِ لِلّهِ تَعَالَى
Latin: “Nawaitul ghusla lira f’il hadatsin nifaasi lillahi ta’ala”
Artinya: “Saya niat mandi untuk menghilangkan hadas nifas karena Allah Ta’ala”